Sunday, July 31, 2011

Puasa Ramadhan adalah WAJIB

Syaikh Shalih Bin Fauzan Al Fauzan
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin

Barangsiapa Berbuat kebajikan dengan Kerelaan Hati, Lebih Baik Baginya

Allah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa Ramadhan, karena puasa memutuskan jiwa dari syahwatnya dan menghalangi dari apa yang biasa dilakukan. Puasa Ramadhan termasuk perkara yang paling sulit, karena itu kewajibannya pun diundur sampai tahun kedua hijriyah, setelah hati kaum muslimin kokoh dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar-syiar Allah, maka Allah membimbing mereka untuk melakukan puasa dengan bertahap.

Pada awalnya mereka diberi pilihan untuk berbuka atau puasa, serta diberi semangat untuk puasa, karena puasa masih terasa berat bagi para shahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Barangsiapa yang ingin berbuka kemudian membayar fidyah diperbolehkan.


Allah Subahanu Wata’ala berfirman (yang artinya):

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(Al Baqoroh 184).

Barangsiapa yang Mendapatkan Bulan Ramadhan, Hendaknya Berpuasa

Kemudian turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menghapuskan hukum di atas. Hal ini dikabarkan oleh dua shahabat yang mulia, Abdullah bin Umar dan Salamah bin Akwa Radhiyallahu ‘Anhuma. Keduanya berkata, "kemudian dihapus oleh ayat (yang artinya):

"(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk-petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu barangsiapa diantara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, supaya kamu bersyukur."
(Al Baqoroh 185) "

(Hadits dari Ibnu Umar, dikeluarkan oleh Bukhari (4/188) dan Hadist dari Salamah dikeluarkan oleh Bukhari (8/181) dan Muslim(1145))

Dan dari Ibnu Abi Laila, ia berkata, "Sahabat Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyampaikan kepada kami (yang artinya):

"Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan terasa memberatkan mereka (para shahabat), maka barang siapa tidak mampu diperbolehkan meninggalkan puasa dan memberi makan seorang miskin sebagai keringanan bagi mereka. Kemudian hukum ini dihapus oleh ayat "Berpuasa itu lebih baik bagi kalian", akhirnya mereka disuruh berpuasa."."

(Juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Al Mustakhraj sebagaimana dalam Taghliqut Ta’liq(3/185) dari jalan yang ketiga dengan sanad yang hasan juga)

Sejak itu jadilah puasa sebagai salah satu tiang dari tiang-tiang agama dan menjadi salah satu rukun agama berdasarkan sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya):

"Islam dibangun atas 5 perkara: Syahadat an la ilahailallah wa anna Muhammad rasulullah, menegakkan Shalat, menunaikan Zakat naik haji ke Baitul Haram, serta puasa Ramadhan."
(Diriwatkan oleh Bukhari (1/47) dan Muslim (16) dari Ibnu Umar)

Dinukil dari kitab "Shifat Shoum an Nabiy Sholallahu ‘Alaihi Wassalam fi Ramadhan"
Judul Indonesia "Sifat Puasa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wassalam"
Penerbit Al Mubarok

Thursday, July 21, 2011

NASEHAT UNTUK SUAMI-ISTERI

Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah Salallaahu 'Alayhi Wassalam, para keluarga dan para sahabat beliau, serta kepada orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau sampai hari pembalasan.

Sesungguhnya Allah telah memberikan ni’mat kepada hamba-hamba-Nya dengan disyari’atkannya perkawinan, karena di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak dan dampak yang baik.
Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
(QS. Ar-rum: 21).

Perkawinan merupakan batu-bata (bahan bangunan) yang baik untuk membangun keluarga yang shaleh dalam masyarakat. Islam telah mengatur kehidupan suami-isteri dengan suatu sistem yang indah dari Rabb yang Maha bijaksana dan Maha mengetahui. Islam telah memberikan penjelasan tentang ukuran-ukuran kehidupan suami-isteri yang bahagia yang menghantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Para suami isteri yang muslim –semoga Alah memberi taufiq kepada anda berdua untuk setiap kebaikan- hendaknya mengetahui, bahwa mewujudkan kebahagiaan ini merupakan sesuatu yang mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman : “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
(QS. At-thalaq: 4).

Mereka hanya dituntut untuk bertakwa kepada Allah dengan seluruh makna yang terkandung dalam kata takwa tersebut, karena takwa kepada Allah merupakan dasar untuk setiap kebaikan.

Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman:“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
(QS. At-Taubah : 109).

Para suami-isteri hendaknya menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya bagi mereka, dan memperhatikan untuk melakukan pergaulan yang ma’ruf antara keduanya. Pada saat itu akan tercipta kebahagiaan suami isteri dengan pertolongan Allah. Keduanya akan memetik buahnya yang indah, dan anak-anak akan terdidik bersama dua orang shaleh dan bahagia.

Dengan demikian akan tumbuh suatu keluarga yang baik, sebagaimana akan tumbuh suatu masyarakat muslim yang bahagia. Segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita berupa hukum-hukum syari’at yang tinggi yang menghantarkan kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sebagai penutup, saya berikan kepada pasangan suami-isteri suatu hadiah yang diambil dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah SalAllaahu 'Alayhi Wassalam. Semoga hadiah ini –dengan pertolongan Allah dan taufiqNya- akan menjadi cahaya yang menyinari mereka berdua.

Allah Subhanahu Wa Ta'alaa berfirman tentang beberapa sifat para hamba-Nya:“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Furqan: 74).

Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah Salallaahu 'Alayhi Wassalam bersabda: “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik terhadap para isterinya.”
(HR. Turmizi, ia berkata: hadits hasan shahih).

Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi Salallaahu 'Alayhi Wassalam, beliau bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Amir adalah pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin keluarganya. Orang perempuan adalah pemimpin rumah dan anak-anak suaminya. Maka setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya.”
(Muttafaq alaih).

Saya memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'alaa agar memberi taufiq kepada setiap suami-isteri yang muslim menuju setiap hal yang dicintai dan diridhai-Nya, menjadikan keduanya bahagia di dunia dan akhirat, dan memberikan kepada mereka keturunan yang baik, serta menjadikan keturunan tersebut berbakti dan sedap di pandang oleh kedua orang tua mereka. Sesungguhnya Rabbku Maha dekat, Maha mengabulkan dan Maha mendengarkan do’a.

Posting Ulang Dari : indonesian.iloveallaah.com

Wednesday, July 13, 2011

Lezatnya Ibadah Kepada Ar-Rahman

Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah

Aktivitas seorang ibu rumah tangga hampir tak pernah berhenti dalam sehari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Melayani suami, mengasuh anak-anak, mengurus rumah dengan segala kebutuhannya adalah rutinitas yang akrab dengan dirinya. Dengan kesibukan yang ada, tak terasa hari terus bergulir, jam demi jam terlewati, malam pun kembali menjelang dan tak terasa hari pun berganti. Demikian seterusnya…

Namun disayangkan, di tengah aktivitas ini –yang sebenarnya bernilai ibadah bila dilakukan ikhlas karena Allah dan berharap pahala dari-Nya– terkadang didapatkan adanya sikap tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah kepada Allah seperti shalat lima waktu.Sehingga dengan alasan sibuk bersama si kecil, ibadah shalat sering ditunda penunaiannya sampai hampir keluar dari waktunya.
Kalaupun dikerjakan lebih awal, dilakukan dengan penuh ketergesaan, ditambah lagi dengan ‘gangguan’ si kecil. Shalat tak lagi dirasakan kelezatannya, padahal ibadah kepada Ar-Rahman itu memiliki kelezatan bagi orang yang dapat menikmatinya.

Kelezatan Ibadah
Termasuk anugerah terbesar yang Allah berikan kepada seorang hamba adalah si hamba dapat merasakan lezatnya ibadah dengan ketenangan jiwa, kebahagiaan hati, kelapangan dada dan ketentraman yang ia peroleh ketika melaksanakan ibadah dan sesudah menunaikan ibadah. Kelezatan ini berbeda-beda tingkatannya pada setiap individu sesuai dengan kuat atau lemahnya iman. Kelezatan ini dapat diperoleh bila ditempuh sebab-sebabnya dan dapat hilang bila hilang pula sebabnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((وَ جُعِلََ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِِِ))

“Dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”
(HR. An-Nasai, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/82)

Beliau memberikan pernyataan seperti ini karena beliau mendapatkan kelezatan dan kebahagiaan hati ketika mengerjakan shalat. Panjangnya shalat malam beliau merupakan satu bukti tentang kelezatan yang beliau peroleh tatkala bermunajat kepada Rabb-nya.

Menjelang wafat, Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu menangis. Namun ia bukan menangisi ajal yang akan menjemputnya. Dengarkanlah sebab tangisnya:

إِنَّمَا أَبْكِي عَلَى ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ وَ قِيَامِ لَيْلِ الشِّتَاءِ وَ مُزَاحَمَةِ الْعُلَمَاءِ بِالرُّكَبِ عِنْدَ خَلْقِ الذِّكْرِ

“Aku menangis hanyalah karena aku tidak akan merasakan lagi rasa dahaga (orang yang berpuasa) ketika hari sangat panas, bangun malam untuk melaksanakan shalat di musim yang dingin dan berdekatan dengan orang-orang yang berilmu saat bersimpuh di halaqah dzikir.”

Sebab-sebab mencapai lezatnya ibadah
Ada beberapa sebab untuk mendapatkan lezatnya beribadah kepada Ar-Rahman, di antaranya:

1. Bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah hingga jiwa dapat merasakan lezatnya ibadah
Dan tentunya hal ini membutuhkan kesabaran dengan terus memaksa jiwa berjalan di atas ketaatan. Awalnya memang sulit, namun seperti kata seorang penyair Arab:

لَأَسْتَسْهِلَنَّ الصَّعْبَ أَوْ أُدْرِكَ الْمنَى
فَمَا انْقَادَتِ الآمَلُ إِلاَّ لِصَابِر

“Sungguh-sungguh aku akan menganggap mudah kesulitan itu hingga diperoleh apa yang kuinginkan dan kuharapkan
Tak kan tunduk harapan itu kecuali kepada orang yang sabar.”

2. Meninggalkan banyak makan, minum, berbicara dan memandang tanpa ada keperluan
Sepantasnya seorang muslim tidak berlebihan dalam makanan dan minuman, namun sekadar dapat menegakkan tulangnya, untuk membantunya untuk menunaikan ibadah dan beramal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

(يا بني آدم خذوا زينتكم عند كل مسجد و كلوا واشربوا و لا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين)

“Wahai anak-anak Adam, kenakanlah perhiasan kalian setiap kali menuju ke masjid. Makanlah kalian dan minumlah namun jangan berlebih-lebihan/ melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(Al-A’raf: 31)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((كُلُوا وَ اشْرَبوا وَ الْبَسوا وَ تَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ إسَرافٍ وَ لاَ مخيلَةٍ))

“Makan, minum dan berpakaian serta bersedekahlah kalian tanpa berlebih-lebihan dan tanpa takabbur.”
(HR. Al-Bukhari)

Karena itulah kita dapat melihat, orang yang perutnya penuh dengan makanan maka ia akan malas mengerjakan shalat. Tidaklah ia bangkit menunaikannya kecuali laksana ia digiring dengan terbelenggu. Bila ia masuk di dalam shalat, ia menanti-nanti saat imam mengucapkan assalamu ‘alaikum wa rahmatullah.

Namun jangan dipahami bahwa seseorang itu harus mengurangi makan dan minumnya hingga bermudharat bagi tubuhnya, yang akibatnya akan terluput darinya kemaslahatan ukhrawi dan duniawi, sebagaimana perbuatan orang-orang yang tenggelam dalam sikap ghuluw (ekstrim).

Seorang muslim juga harus mengontrol ucapan lisannya dan mempersedikit berbicara, sebaliknya ia menyibukkan lisannya dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah mengajak manusia ke jalan yang benar. Dibolehkan seseorang berucap dengan pembicaraan yang mubah selama tidak berlebihan hingga pada akhirnya membuat hati menjadi keras dan kaku.

Adapun maksud membatasi pandangan adalah membatasinya dari memandang apa yang diharamkan ataupun dimakruhkan, seperti melihat surat kabar dan majalah yang di dalamnya memampang gambar-gambar yang memancing dan mengobarkan syahwat serta membawa kepada kehinaan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

( إن السمع و البصر و الفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا)

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan ditanya kelak di hadapan Allah.”
(Al-Isra: 36)

3. Memperbaiki makanan, minuman dan penghidupan

Seorang hamba perlu memperhatikan makanan, minuman dan penghidupannya. Janganlah ia masukkan ke dalam perutnya kecuali makanan dan minuman yang halal lagi baik (halalan thayyiban). Demikian pula dari penghidupannya yang lain, karena makanan, minuman dan penghidupan dari hasil yang haram dapat menghalangi seorang hamba dari kebaikan dengan terhalangnya pengabulan doanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

((إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا,وَ إِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ, فَقَالَ تَعَالَى : (يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَ اعْمَلُوْا صَالِحًا). وَ قَالَ تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتٍ مَا رَزَقْنَاكُمْ . ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَقُوْلُ : يَا رَبُّ يَا رَبُّ وَ مَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَ مَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَ مَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَ غُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنىَّ يُسْتَجَابُ له))

“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan apa yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik dan beramal shalihlah). Dan Dia berfirman: (Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian). Kemudian Rasulullah menceritakan tentang seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan yang panjang, dalam keadaan rambutnya kusut masai lagi berdebu. Ia menengadahkan tangannya ke langit seraya menyeru: Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku. Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia dihidupi dari yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dipenuhi.”
(HR. Muslim)

4. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa, yang kecil terlebih lagi yang besar.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata: “Aku tercegah untuk melaksanakan shalat malam karena satu dosa yang kuperbuat.”
Ketika Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Al-Imam Malik rahimahullah guna memperdengarkan bacaannya, Al-Imam Malik kagum dengan kecerdasan, kepandaian dan sempurnanya pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik pun berkata: “Aku berpendapat bahwa Allah telah meletakkan di hatimu cahaya maka jangan engkau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”

Terhalang dari lezatnya ibadah

Di antara satu tanda yang jelas dari sekian tanda terhalangnya seseorang dari nikmatnya ibadah adalah ia merasa berat untuk melaksanakan ibadah seperti shalat, sehingga kalaupun ia shalat maka ia bangkit dalam keadaan malas seakan-akan ia digiring kepada kematian sementara ia melihat kematian itu di depan matanya. Kita lihat ketika shalat ia seperti ayam yang mematuk-matuk makanannya, begitu cepat selesainya.

Seandainya orang ini merasakan lezatnya shalat niscaya ia akan bersegera mengerjakannya. Ia akan memperbaiki shalatnya dan seselesainya shalat, ia sibukkan dirinya dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikir. Namun memang hati yang terpaut dengan dunia merasa berat dan sulit untuk melakukannya. Kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala keselamatan dan ampunan sebagaimana kita berharap taufiq dan hidayah-Nya. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Sumber : www.majalahsyariah.com

Thursday, July 7, 2011

Tangisan Seorang Mukmin

Al-Ustadz Zainul Arifin

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullaah berkata:“Barangsiapa yang ilmunya membuat dia menangis, maka dia seorang yang alim.”

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الَّذَينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkurkan muka mereka sambil bersujud.” (Al-Israa’: 107)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Apabila dibacakan ayat-ayat Ar-Rahman (Dzat Yang Maha Pemurah) kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan sujud dan menangis.”
(Maryam: 58)
(Mawa’izh lil Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 132-133)

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullaah berkata:

“Andai seorang menangis pada sekumpulan manusia karena takut kepada Allah, niscaya mereka dirahmati semuanya.”

“Tidak ada satu amalan pun kecuali ada timbangannya yang jelas kecuali menangis karena takut kepada Allah. Allah tidak membatasi sedikit pun nilai dari setiap tetes air matanya.”

Dan beliau juga berkata: “Tidaklah seseorang menangis kecuali hatinya menjadi saksi akan kebenaran atau kedustaan dia.”
(Mawa’izh lil Imam Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 109)

‘Abdul Karim bin Rasyid rahimahullaah berkata:
Aku pernah berada di majelis Al-Hasan Al-Bashri, kemudian ada yang menangis dengan mengeraskan tangisannya. Maka Al-Hasan berkata: “Sesungguhnya sekarang setan telah membuat orang ini menangis.”
(Mawa’izh lil Imam Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 152)

Al-Imam Fudhail bin ‘Iyyadh rahimahullaah berkata:

“Menangis itu bukanlah dengan tangisan mata (saja). Akan tetapi dengan menangisnya hati. Sungguh, ada seseorang yang terkadang kedua matanya menangis sementara hatinya mengeras. Karena tangisan seorang munafiq adalah dengan kepalanya bukan dengan hatinya.”
(Mawa’izh lil Imam Imam Al-Fudhail bin ‘Iyyadh, hal. 54)

(Dinukil dari Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 11/1425H/2004, judul: Tangisan Seorang Mukmin, kategori: Permata Salaf, hal. 1, untuk almuslimah.co.nr

Tuesday, July 5, 2011

VIVAnews - Dai kondang, Zainuddin MZ meninggal dunia, Selasa, 5 Juli 2011. Zainuddin yang juga dikenal dengan Da'i sejuta umat itu meninggal setelah dirawat di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta.
"Beliau meninggal jam 10.15 WIB tadi di RSPP," kata kerabat Zainuddin, KH Mahdi saat dihubungi VIVAnews.com. Menurut Mahdi, Zainuddin masuk rumah sakit sejak kemarin. "Masuk kemarin malam sepulang dari luar kota," kata dia.


Zainuddin, sempat tak sadarkan diri sebelum dibawa ke rumah sakit. "Sampai rumah keluarga langsung bawa ke RSPP karena pingsan," kata Mahdi. Menurut dia, Zainuddin menderita beberapa penyakit. "Beliau, sakit gula darahnya kambuh, naik. Jantungnya juga kambuh," kata dia.
Zainuddin Muhammad Zein begitu nama lengkapnya lahir di Jakarta tanggal 2 Maret 1951.  Dia menyelesaikan semua sekolahnya di Jakarta dan menyelesaikan strata satu di Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dia mendapat gelar doktor honoris causa dari  Universitas Kebangsaan Malaysia.
Ceramah agamanya diminati banyak orang. Baik yang mendengar langsung pada setiap acara ceramah, maupun lewat radio dan televisi. Sukses dengan ceramah agama itu, Zainuddin dijuluki dai sejuta umat.
Belakangan dia mencoba peruntungan lain di jalur politik. Masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia menjadi juru kampanye partai itu. Gaya dan pilihan katanya memikat banyak orang. Bersama raja dangdut Rhoma Irama, Zainuddin berkeliling daerah. Hasilnya cukup memuaskan.
Partai itu kemudian terlibat friksi, Zainuddin ikut menggalang kekuatan PPP Reformasi, yang belakangan menjelma menjadi Partai Bintang Reformasi. Dia bahkan sempat menjadi ketua umum partai itu. Belakangan terjadi friksi ketika ada pergantian ketua umum. Zainuddin pamit dari politik dan kembali memberi ceramah agama.
Keterlibatan Zainuddin dalam politik itu, tidak terlepas dari pengaruh Kyai Haji Idham Chalid. Zainuddin lama belajar di pesantren milik Idham Khalid yang menjadi salah seorang deklarator PPP itu.

Saturday, July 2, 2011

Gold Based Capital : Menumbuhkan Sektor Riil Untuk Melawan Inflasi…

Di dunia perbankan ada istilah Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Rasio Kecukupan Modal, yaitu suatu rasio yang menggambarkan perbandingan antara modal bersih yang dimiliki suatu bank dengan total asetnya – setelah memperhitungkan faktor risiko. Mirip dengan ini di dunia asuransi dikenal istilah Risk Based CapitalRBC), yaitu kekayaan bersih perusahaan juga setelah diperhitungkan dengan faktor-faktor risiko. 

Saya tidak akan memperkenalkan formula yang njlimet seperti perhitungan CAR di perbankan atau RBC di asuransi untuk menghitung nilai sesungguhnya dari aset pribadi atau perusahaan Anda, saya perkenalkan saja apa yang saya sebut Gold Based Capital (GBC) – yang mengukur nilai riil aset Anda dengan menggunakan standar harga emas.
Untuk mudahnya dipahami konsep ini saya gunakan ilustrasi berikut : anggap lima tahun lalu (2006) Anda punya aset uang  sebesar lima unit (bisa satuan apa saja milyar Rupiah, juta dollar dlsb). Anda investasikan secara terpisah masing-masing satu unit ke Deposito Rupiah (asumsi hasil rata-rata 7 %), Deposito Dollar (asumsi hasil rata-rata 2.5%), Saham (asumsi hasil mengikuti pergerakan IHSG), Emas untuk nantinya dijual ke Rupiah ( asumsi apresiasi nilai mengikuti harga emas dalam Rupiah) dan Emas yang nantinya dijual ke Dollar ( asumsi apresiasi mengikuti harga emas dalam US Dollar).
Setelah lima tahun berlalu (2011),  berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diatas pertumbuhan masing-masing aset Anda akan menjadi seperti pada grafik dibawah.
Asset Growth in Original Currencies
Perhatikan semua aset nampak memberikan hasil atau tumbuh. Deposito baik dalam Rupiah maupun dalam US Dollar secara persistent tumbuh dibawah pertumbuhan harga emas baik di Rupiah maupun di Dollar. Saham yang direpresentasikan oleh fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tumbuh secara fluktuatif – kadang jauh diatas harga emas tetapi kadang juga anjlog jauh dibawah.
Dengan kacamata Rupiah atau US Dollar, Anda mungkin sudah senang dengan pertumbuhan aset ini.  Masalahnya adalah daya beli riil Rupiah dan Dollar juga anjlog tergerus inflasi selama lima tahun ini – inilah faktor risiko yang hampir pasti terjadi yang mestinya ikut diperhitungkan dalam menilai aset Anda. Karena faktor risiko inilah nilai sesungguhnya dari aset Anda tersebut diatas perlu di adjusted dengan faktor inflasi – tetapi data inflasi yang mana yang bisa kita pakai ?, di negeri ini inflasi umum rata-rata lima tahun terakhir ‘hanya’ 6.8 % tetapi rata-rata inflasi bahan pangan untuk periode yang sama adalah 12 % !.
Agar Anda tidak pusing memikirkan data inflasi mana yang digunakan, maka gunakan saja harga emas sebagai patokan. Mengapa harga emas ?, Pertama harga emas di dunia dibentuk oleh mekanisme pasar yang nyaris sempurna – sehingga harganya adalah reliable, kedua data harga emas yang paling up-dated baik dalam Rupiah maupun dalam US Dollar ini selalu available setiap saat, dan utamanya yang ketiga karena harga emas telah terbukti stabil mencerminkan harga-harga benda riil kebutuhan manusia untuk periode yang amat sangat panjang yaitu lebih dari 1400 tahun !. Maka setelah aset-aset Anda tersebut diatas di adjusted atau di standarisasi dengan menggunakan harga emas, hasilnya akan seperti pada grafik dibawah.
Asset Growth Based on Gold
Emas baik yang semula akan dijual dalam Rupiah maupun US Dollar, bila di standarisasi dengan emas itu sendiri tidak tumbuh atau tidak bertambah sampai kapan-pun. Deposito Anda dalam Rupiah maupun dalam US$ nampak terus menyusut – semakin lama semakin menjauh dari standar harga emas. Untuk saham berfluktuasi kadang diatas dan kadang dibawah.
Saham yang sedikit mencerminkan sektor riil dapat menumbuhkan aset Anda yang dihitung dengan standar emas – meskipun berisiko tinggi. Untuk tingginya risiko investasi di saham ini pernah saya tulis di situs ini yang mengutip thesis S2-nya Ibu Sri Pangestuti.
Bila deposito-deposito nilai riilnya dengan standar emas terus menyusut dan investasi saham berisiko, lantas apa investasi yang paling tepat untuk Anda ?. Saya cenderung untuk terus mendorong Anda berinvestasi di sektor riil. Memang untuk ini Anda akan menghadapi setidaknya dua risiko sekaligus yaitu risiko usahanya sendiri dan risiko inflasi, namun insyaallah keduanya bisa di-minimized.
Risiko usaha dapat Anda minimized dengan memilih bidang yang sangat Anda pahami seluk beluknya, melakukan riset maksimal dibidang tersebut dari segala aspek yang terkait, membuat business model dan business plan yang matang serta mengimplementasikannya dengan prudent atau penuh kehati-hatian.
Risiko inflasi dapat Anda minimized atau bahkan hilangkan bila Anda bisa mengelola pertumbuhan aset Anda berbasis emas atau Dinar, bukan emas atau Dinar yang disimpan tetapi emas atau Dinar yang menjadi modal yang terus berputar.  Untuk lebih jelasnya,  ilustrasi dibawah ini menggambarkan siklus usaha Anda setelah menggunakan Dinar atau emas sebagai basis-nya.
Business Cycle Change From Fiat To Gold
Mudahkah ini diimplementasikan ?. Kerjasama antara  Gerai Dinar dengan BMT Daarul Muttaqiin telah siap memfasilitasi Anda untuk memutar usaha berbasis Dinar ini,  namun bagi Anda yang belum comfortable atau familiar dengan Dinar – maka emas lantakan juga bisa digunakan sebagai basis modal untuk menggerakkan sektor riil. Untuk yang terakhir ini kami telah merintis pembicaraan dengan beberapa bank syariah untuk sinergi-nya, insyaAllah dalam waktu dekat layanan yang komprehensif yang terkait dengan penggunaan emas sebagai modal ini akan segera terwujud.
Sebagaimana lawan riba adalah perdagangan dan sedekah, maka inflasi harus bisa kita taklukkan dengan berputarnya harta di sektor riil dan ketika masih idle berupa cadangan modal-pun dia dalam bentuk yang tidak mempan digerus inflasi yaitu Dinar atau  emas. InsyaAllah.

Ada Saatnya…

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Manusia tidak selamanya bisa menghadirkan hati untuk selalu mengingat akhirat. Dalam hidup berumah tangga, ada saat-saat bagi kita untuk bercanda dengan anak-anak, bermesraan dengan suami, dan kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Bagaimana mengelola itu semua sehingga kehidupan kita senantiasa dalam naungan syariat?
Mungkin pernah terlintas di benak kita bahwa hari-hari bersama suami dan anak-anak kadang dipenuhi dengan kelalaian. Kita disibukkan untuk melayani mereka, mengurusi dan mempersiapkan kebutuhan mereka. Belum lagi menyempatkan diri untuk duduk bermesraan dan bercengkerama dengan suami, ditambah dengan bermain dan bersenda gurau dengan anak-anak. Bersama mereka, kita selalu tertawa dan seakan lupa dengan kehidupan setelah kehidupan ini.

Bersama mereka, seakan kita merasa kebersamaan ini akan kekal, tidak akan ada perpisahan. Yang ada hanyalah kebahagiaan demi kebahagiaan, kesenangan demi kesenangan. Bersama mereka seakan kita hidup hanya untuk dunia… Bersama mereka kita terbuai, lupa dan lalai…

Namun saat duduk sendiri dalam keheningan malam, bersimpuh di hadapan Ar-Rahman, ketika orang-orang yang dikasihi sedang terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka, timbul ingatan dan kesadaran bahwa semua itu tidaklah kekal, bahwa ada saat perjumpaan dengan Ar-Rahman. Di sana ada kenikmatan yang menanti dan ada azab yang tak terperikan.

Hati menjadi lunak hingga mata pun mudah meneteskan butiran beningnya, terasa tak ingin berpisah dengan perasaan seperti ini. Ingin selalu rasa ini menyertai, ingin selalu tangis ini mengalir membasahi pipi…. Ingin dan ingin selalu ingat dengan akhirat, berpikir tentang akhirat di sepanjang waktu tanpa lupa sedetik pun dan tanpa lalai sekerdip mata pun.

Demikian pula ketika kita duduk di majelis dzikir, majelis ilmu yang haq, mendengar ceramah seorang ustadz tentang dunia dengan kefanaan dan kerendahannya, tentang akhirat dengan kemuliaannya, tentang targhib dan tarhib, tentang kenikmatan surga dan azab neraka… Kembali kita ingat bahwa tawa canda dan kegembiraan kita dalam rumah tangga, bersama suami dan anak-anak, adalah kefanaan. Ada kehidupan setelah kehidupan dunia yang hanya sementara ini.

Pikiran seperti ini bisa saja suatu saat timbul di benak kita, sehingga terkadang membuat kita terusik, didera keresahan dan kebimbangan. Benarkah sikapku? Salahkah perbuatanku?

Saudariku…

Perasaan yang mungkin agak mirip dengan yang pernah engkau rasakan juga pernah dialami para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Hanzhalah Al-Asadi radhiallahu ‘anhu seorang shahabat yang terhitung dalam jajaran juru tulis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertutur:

Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
“Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya1.
“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.
“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.
“Bila kita berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) menyibukkan kita2, hingga kita banyak lupa/lalai,” kataku.
“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu3,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.
Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.
“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/lalai4,” jawabku.
Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنْ لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً سَاعَةً. (ثَلاَثَ مَرَّاتٍ)

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada di sisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali.
(HR. Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat wal Isytighal bid Dunya)

Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan lafadz:

يَا حَنْظَلَةُ، سَاعَةً سَاعَةً، وَلَوْ كَانَتْ تَكُوْنُ قُلُوْبُكُمْ كَمَا تَكُوْنُ عِنْدَ الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى تُسَلِّمَ عَلَيْكُمْ فِي الطُُّرُقِ

“Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.”
(HR. Muslim no. 6901)

Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dirinya sebagai salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah membuatnya merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Bahkan ia merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasa khauf (takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya, dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala), berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat. Namun ketika keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan. Karena mereka tidaklah dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)

Ketika Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengeluhkan perasaan dan keadaan dirinya yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bila keadaannya sama dengan keadaannya ketika bersama beliau, merasa hatinya itu lunak dan takut kepada Allah. Terus keadaannya demikian di mana pun ia berada, niscaya para malaikat dengan terang-terangan akan menyalaminya di majelisnya, di atas tempat tidurnya dan di jalan-jalannya.

Namun yang namanya manusia tidaklah bisa demikian. Ada waktunya ia bisa menghadirkan hatinya untuk mengingat akhirat, dan ada saatnya ia lemah dari ingatan akan akhirat. Ketika waktunya ingat akan akhirat, ia bisa menunaikan hak-hak Rabbnya dan mengatur perkara agamanya. Saat waktunya lemah, ia mengurusi bagian dari kehidupan dunianya ini. Dan tidaklah seseorang dianggap munafik bila demikian keadaannya, karena masing-masingnya merupakan rahmah atas para hamba.
(Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqa`iq wal Wara’, bab ke 59, Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/560)

Al-Imam As-Sindi rahimahullahu menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ) : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan mereka bahwa biasanya hati itu tidak selamanya dapat dihadirkan untuk selalu ingat akhirat. Namun hal itu tidaklah memudharatkan bagi keberadaan iman di dalam hati, karena kelalaian/saat hati itu lupa tidaklah melazimkan (mengharuskan) hilangnya keimanan.”
(Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/559-560)

Demikianlah ajaran yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, kepada para suami dan tentunya juga untuk para istri. Kesibukan dalam rumah tangga, bersenda gurau dengan suami dan bermain-main dengan anak-anak hingga kadang membuat lupa dan lalai, bukanlah suatu dosa yang dapat menghilangkan keimanan dalam hati.

Ada saatnya memang manusia itu lupa dan lalai karena memang demikian tabiat mereka yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Yang dicela hanyalah bila ia terus tenggelam dalam kelalaian, ridha terlena dengan keadaan yang demikian, dan memang enggan untuk bangkit memperbaiki diri.

Pikirannya hanya dunia dan dunia, tanpa mengingat akhirat. Namun bila terkadang lupa kemudian ingat, ia bersemangat kembali. Demikianlah sifat manusia, manusia bukanlah malaikat yang mereka memang diciptakan semata untuk taat dan selalu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, selalu mengerjakan dengan sempurna apa yang diperintahkan, tanpa lalai sedikitpun.

وَمَنْ عِنْدَهُ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَ يَسْتَحْسِرُوْنَ. يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَ يَفْتُرُوْنَ

“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak pula mereka merasa letih. Mereka selalu bertasbih kepada Allah siang dan malam tiada hentinya-hentinya.”
(Al-Anbiya`: 19-20)

Para malaikat itu tidak pernah lelah, tidak pernah bosan dan jenuh karena kuatnya raghbah (harapan) mereka (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), sempurnanya mahabbah (cinta) mereka, dan kuatnya tubuh mereka. Mereka tenggelam dalam ibadah dan bertasbih di seluruh waktu mereka. Sehingga tidak ada waktu mereka yang terbuang sia-sia dan tidak ada waktu mereka yang luput dari ketaatan. Tujuan mereka selalu lurus, sebagaimana lurusnya amalan mereka. Dan mereka diberi kemampuan untuk melakukan semua itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6) [Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal. 862, Taisir Al-Karimir Rahman hal. 520-521]

Itulah sifat-sifat malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia. Dan manusia, sekali lagi bukanlah malaikat. Pada diri manusia ada kelalaian dan sifat lupa. Kadang semangat dalam menjalankan ketaatan, kadang pula futur (lemah semangat). Kadang hatinya tersibukkan mengingat kematian dan kampung akhirat, kadang pula ia sibuk mengurus dunianya.

Begitulah sifat manusia, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Dan orang yang demikian keadaannya tidaklah bisa dicap munafik, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak cap seperti itu ketika diucapkan oleh Hanzhalah radhiallahu ‘anhu.

Dengan penjelasan di atas, kita berharap dapat mengambil pelajaran bahwa kita tidaklah dituntut untuk menjadi seorang yang ghuluw (berlebihan melampaui batas). Sehingga karena tak ingin dilalaikan dengan kesibukan rumah tangga, dengan suami dan anak, kita pun memilih hidup membujang agar bisa sepenuhnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau jika kita sudah berumah tangga, lalu kita terapkan sikap ekstrim; tidak boleh ada canda tawa dengan suami, tak boleh ada gurauan karena dianggap sia-sia, harus diam berzikir.

Tidak ada berkasih mesra karena membuang waktu dan itu hanyalah perbuatan ahlud dunya, orang-orang yang cinta dunia, sementara kita orientasinya akhirat. Tidak perlu mengajak anak-anak bermain. Rumah tidak perlu terlalu diurusi dan ditata, masak sekedarnya tidak usah enak-enak, tidak perlu ada perawatan tubuh dan kecantikan, tidak perlu repot dengan dandanan dan penampilan di depan suami, tidak mengapa pakai baju yang sudah sobek, semuanya sekedarnya… Toh ini cuma kehidupan dunia, toh semua ini melalaikan dan buang waktu… Benarkah? Tentunya tidak! Bila ada seorang istri yang melakukannya atau berpikir seperti itu, maka benar-benar hal itu bersumber dari kebodohannya.

Tapi kita katakan, urusilah rumah tanggamu dengan baik. Perhatikan suami dan anak-anakmu. Usahakan untuk memberikan yang terbaik dan ternyaman untuk mereka, baik dari sisi pelayanan, penyediaan makanan, penataan rumah dan sebagainya sesuai dengan kemampuan yang ada dengan tiada memberatkan. Kalau dikatakan hal itu melalaikan dari akhirat maka jawabannya hadits Hanzhalah radhiallahu ‘anhu di atas.

Dan tengok pula rumah tangga nabawiyyah yang kerap kami singgung kisahnya dalam rubrik ini. Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berumah tangga dan bagaimana istri-istri beliau, demikian pula istri-istri para shahabat radhiallahu ‘anhum. Merekalah sebaik-baik contoh.

Demikianlah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita semua. Amin!!!

Wallahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 Karena saat itu Hanzhalah melewati Abu Bakr dalam keadaan Hanzhalah menangis. (Sebagaimana disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzi dalam Sunannya no. 2514)
2 Karena kita harus memperbaiki penghidupan/mata pencaharian kita dan mengurusi mereka. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)
Dalam riwayat lain, Hanzhalah radhiallahu ‘anhu berkata mengeluhkan keadaan dirinya: “Kemudian aku pulang ke rumah lalu tertawa ceria bersama anak-anakku dan bermesraan dengan istriku.” (HR. Muslim no. 6901)
3 Dalam riwayat lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku juga melakukan seperti apa yang engkau sebutkan.”
4 Seakan-akan kami belum pernah mendengar sesuatu pun darimu. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqaiq wal Wara’, bab ke 59)

Sumber : www.asysyariah.com