Showing posts with label Adab. Show all posts
Showing posts with label Adab. Show all posts

Tuesday, October 18, 2011

Penyebab Anak Nakal dan Cara Mengatasinya

Penyebab Anak Nakal dan Cara Mengatasinya. -- Setelah kemarin memposting mengenai Kisah Anak Durhaka Kepada Ayahnya maka kita malam hari ini akan belajar bersama mengenai Penyebab Anak Nakal dan Cara Mengatasinya yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A.Semoga bisa berguna dan bermanfaat saudaraku

Mendidik anak merupakan perkara yang mulia tapi gampang-gampang susah dilakukan, karena di satu sisi, setiap orang tua tentu menginginkan anaknya tumbuh dengan akhlak dan tingkah laku terpuji, tapi di sisi lain, mayoritas orang tua terlalu dikuasai rasa tidak tega untuk tidak menuruti semua keinginan sang anak, sampai pun dalam hal-hal yang akan merusak pembinaan akhlaknya.

Sebagai orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita meyakini bahwa sebaik-baik nasihat untuk kebaikan hidup kita dan keluarga adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an dan sabda-sabda nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala), penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari perhiasan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.’”
(QS. Yunus: 57-58).

Dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan anak, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman akan besarnya fitnah yang ditimbulkan karena kecintaan yang melampaui batas terhadap mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…”
(QS. at-Taghabun: 14).

Makna “menjadi musuh bagimu” dalam firman-Nya adalah “melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[1]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya….”[2]

Fenomena kenakalan anak

Fenomena ini merupakan perkara besar yang cukup memusingkan dan menjadi beban pikiran para orangtua dan pendidik, karena fenomena ini cukup merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat, tidak terkecuali kaum muslimin.

Padahal, syariat Islam yang sempurna telah mengajarkan segala sesuatu kepada umat Islam, sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, apalagi masalah besar dan penting seperti pendidikan anak.
Sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seorang musyrik, “Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar?” Salman menjawab, “Benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil….”[3]

Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan agama ini Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya dan Dialah yang maha mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta cara untuk memperbaiki keadaan mereka?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta besrta isinya) Maha Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci).”
(QS. al-Mulk: 14).

Akan tetapi, kenyataan pahit yang terjadi adalah, untuk mengatasi fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum muslimin justru lebih percaya dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan anak yang diajarkan oleh orang-orang barat, yang notabene kafir dan tidak mengenal keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka rela mencurahkan waktu, tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut kepada anak-anak mereka.

Mereka lupa bahwa orang-orang kafir tersebut sendiri tidak mengetahui dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka sendiri, karena mereka sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla yang menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan kemuliaan untuk diri mereka sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(QS. al-Hasyr: 19)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Renungkanlah ayat (yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan suatu makna yang agung dan mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan, dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia dan akhirat. Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah, maka Allah menjadikannya lupa kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas.”
(QS. al-Kahfi: 28).

Dikarenakan dia lalai dari mengingat Allah, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga dia tidak memperhatikan sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa dan hatinya. Bahkan, (kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah, keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak mendapatkan petunjuk ke jalan (yang benar).”[4]


Maka orang yang keadaannya seperti ini, apakah bisa diharapkan memberikan bimbingan kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk dirinya sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa diusahakannya? Mungkinkah orang yang seperti ini keadaannya akan merumuskan metode pendidikan anak yang baik dan benar dengan pikirannya, padahal pikiran mereka jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahami kebenaran yang hakiki? Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?

Sebab kenakalan anak menurut syariat Islam

Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak, bahkan pada semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya yang lurus.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’”
(QS. Al-A’raf: 16-17).

Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya selanjutnya setelah manusia itu dewasa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”[5]

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.“[6]

Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah dewasa dan mengenal semua godaan tersebut?[7]

Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu dan mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi (manusia) dilahirkan di atas fithrah (kecenderungan menerima kebenaran Islam dan tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[8]

Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia memiliki hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan kesyirikan kepadanya.[9]

Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, “Hadits yang agung ini menjelaskan sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua terhadap (pendidikan) anaknya, dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan dari konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan….

(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahram-nya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktik (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’.”[10]

Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi memberimu minyak wangi atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.”[11]

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka.[12]

Ketiga, sumber bacaan dan tontonan

Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan didengarnya dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.

Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف

“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.”[13]

Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Hud: 120).

Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul ‘alaihimus sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….”[14]

Beberapa contoh cara mendidik anak yang nakal

Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:

Pertama, teguran dan nasihat yang baik

Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[15]

Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[16]

Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah

Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[17]

Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[18]

Imam Ibnul Anbari rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[19]

Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah[20] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.

Bolehkah memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[21] Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[22]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.

Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.

Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[23]

Cara-cara menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[24]

Di antara cara tersebut adalah:

1. Memukul wajah

Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[25]

2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas


Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[26]

3. Memukul dalam keadaan sangat marah

Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.

Dari Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[27]

4. Bersikap terlalu keras dan kasar

Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[28]

5. Menampakkan kemarahan yang sangat

Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[29]

Penutup

Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/482.

[2] Taisirul Karimir Rahman, hlm. 637.

[3] HSR. Muslim, no. 262

[4] Kitab Miftahu Daris Sa’adah: 1/86.

[5] HSR. Muslim, no. 2865

[6] HSR. Muslim, no. 2367

[7] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23

[8] HSR. Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658

[9] Lihat kitab ‘Aunul Ma’bud: 12/319–320

[10] Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130–131

[11] HSR. Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628

[12] Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4

[13] HSR. Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638

[14] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392

[15] HSR. Bukhari no. 5061, dan Muslim no. 2022

[16] HR. Tirmidzi no. 2516, Ahmad: 1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah dan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ish Shagir, no. 7957

[17] HR. Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani rahimahullah dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami rahimahullah dan Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 1447

[18] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 97

[19] Dinukil oleh Imam Al-Munawi rahimahullah dalam kitab Faidhul Qadir: 4/325

[20] Dalam kitab beliau Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97

[21] HR. Abu Daud, no. 495; dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah

[22] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370

[23] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal Muslimah, hlm. 149–150

[24] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 89–91

[25] HR. Abu Daud, no. 4493; dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah

[26] HSR. Muslim, no. 1218

[27] HSR. Muslim, no. 1659

[28] HSR. Muslim, no. 2529

[29] HSR. Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609

Kota Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,

Abdullah Taslim al-Buthoni

Sumber : manisnyaiman.com


Demikian tadi sahabat sedikit mengenai penyebab anak nakal dan cara mengatasinya.Semoga Berguna dan bermanfaat saudaraku...

Thursday, October 13, 2011

Kisah Anak Durhaka Kepada Ayahnya

Kisah Anak Durhaka Kepada Ayahnya. -- Setelah postingan tentang rumah mempunyai adab maka untuk hari ini kita akan belajar tentang bersama mengenai kisah anak durhaka kepada ayahnya dan semoga kita bisa mengambil ibrah dari kisah ini dan semoga bisa berguna serta bermanfaat sahabat...Sebelumnya sahabat bisa membaca artikel yang ini juga untuk jadi referensi sahabat jangan durhaka kepada orang tua

Kisah anak durhaka kepada ayahnya ini menggambarkan perihal kerasnya hati seorang anak dan durhakanya ia kepada kedua orang tuanya. Sungguh, ia pasti akan mendapatkan hukuman di dunia sebelum ia mendapatkan sanksi di akhirat kelak.

Pada suatu ketika, ada seorang anak yang mendesak ayahnya yang hanya berstatus sebagai pedagang ‘ishomi, yakni pedagang yang tidak mewarisi harta benda, namun mencari permodalan sendiri, agar sang ayah mau menikahkannya dengan gadis yang sudah ia kenal dibangku perguruan tinggi.

Namun, ayahnya ternyata tidak setuju jika ia menikahi gadis itu, lantaran ia khawatir bila pernikahannya akan berakhir dengan kegagalan (tidak harmonis), sebab ia telah mengetahui karakter gadis yang hendak diperistri putranya itu.

Karena begitu keras kepalanya anak itu, akhirnya sang ayah pun menuruti permintaannya. Tak berhenti sampai disitu saja, anaknya juga meminta ayahnya agar mau membelikan rumah untuknya. Mendengar permintaan anaknya itu, lalu sang ayah menyarankan agar putranya membeli rumah yang besar, agar ia dan istrinya bisa menempati lantai atas, sedangkan ayah dan ibunya akan menempati lantai bawah saja.

Sesuai saran sang ayah, maka dibelilah rumah itu. Mereka semua akhirnya tinggal di rumah baru itu. Tak lama kemudian sang ibu wafat, maka tinggallah sang ayah sendirian, tanpa ada seorang pun yang mengurusinya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal usianya telah mencapai tujuh puluh tahun.


Setiap kali anak yang durhaka itu lewat bersama istrinya, ia melemparkan sisa-sisa makanan kepada ayahnya, layaknya binatang ternak. Akibat perbuatannya itu, maka tempat kediaman ayahnya menjadi semakin kotor, tanpa ada yang membersihkannya, sehingga ia pun terserang berbagai macam penyakit. Ketika sakitnya semakin parah, sang ayahpun meminta agar anaknya mau membawanya ke dokter, namun anak yang durhaka itu selalu menolak dan menolak. Sedangkan istri anak durhaka itu terus mendorong suaminya agar mengusir ayahnya dari rumah, sehingga ia bisa menguasai itu sepenuhnya.

Pada suatu malam yang dingin, sang anak hendak menemui ayahnya. Ia tak mendengar apapun dari ayahnya selain batuk yang tiada henti. Penyakit demam yang dideritanya seakan terus saja menggerogoti tubuhnya yang kerempeng itu. Sedangkan bau tak sedap senantiasa menyengat dari pakaiannya yang belum diganti lebih dari sebulan.

Anak durhaka itu benar-benar nekad melakukan perbuatan yang sangat tidak beradab! Setelah puas memakinya, mencacinya dan menendangnya, ia membungkus tubuh ayahnya dengan selimut, lalu melemparkannya keluar rumah.

Saat orang-orang selesai dari melaksanakan sholat subuh, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan tergeletaknya sesosok jasad manusia yang terbungkus selimut di dekat bangunan besar. Tubuhnya telah membeku, lantaran udara sangat dingin dan hujan begitu deras. Ketika mereka membuka bungkusan selimut itu, mereka mendapatkan sesosok jasad yang sudah tidak bernyawa lagi, dimana darah keluar dari hidungnya dan membeku di kumis dan mulutnya.

Setelah dilakukan pemeriksaan oleh pihak kepolisian, terungkaplah pelaku pembunuhan laki-laki yang mereka temukan itu. Dan pelakunya yang ternyata anaknya sendiri digiring ke kantor polisi. Sesudah proses pengadilan, ia di vonis dengan hukuman penjara dua puluh tahun, padahal ketika itu istrinya sedang hamil satu bulan.

Anak durhaka itu pun melewati masa-masa dalam penjara secara sempurna. Sesudah habis masa hukuman yang panjang itu, istrinya ingin membuat kejutan pada suaminya dengan mempertemukan anaknya yang sudah berusia dua puluh tahun, yang tidak pernah dilihatnya selama ini. Di dekat pintu penjara sang istri bersama anaknya menunggu di dalam mobil yang dikendarai oleh anaknya yang sangat rindu ingin bertemu dengan sang ayah.

Ketika sang ibu melihat suaminya sedang keluar dari pintu, maka sang ibu pun menyuruh anaknya untuk menghampiri sang ayah dengan mobil. Namun, lantaran begitu gembiranya sang anak yang akan bertemu dengan ayahnya, ia keliru menekan gas, padahal ia hendak menginjak rem, hingga menyebabkan ayahnya tertabrak oleh mobilnya sendiri. Ketika sang anak turun dari mobil,ayahnya sudah tergeletak dengan wajah tertelungkup ke tanah, sedangkan darah mengucur dari hidung dan mengalir ke mulutnya.

Pemandangan itu persis seperti kematian kakeknya lantaran ulah ayahnya dulu, yang saat ini sedang ia saksikan di bawah roda mobilnya. Menggenaskan!

[Surat Kabar al-Anba’, edisi 15-7-1995M dan Qoshosh minal Waqi’, Jil.1]

Sumber: Disalin ulang dari buku “Tangannya Menjadi Lumpuh”, Fathurrohman Muhammad Jamil, Hal.24-28, Penerbit Mumtaza.

Sumber : alQiyamah - Moslem Weblog

Demikian tadi sahabat sedikit mengenai kisah anak durhaka kepada ayahnya.Semoga kita bisa mengambil ibrah dari kisah ini dan semoga pula bermanfaat sahabat

Sunday, October 9, 2011

Rumah Mempunyai Adab

Rumah Mempunyai Adab -- Setelah postingan tentang Rahasia di Balik Sakit maka untuk hari ini kita akan belajar bersama mengenai rumah mempunyai adab dan semoga bisa berguna serta bermanfaat sahabat

Rumah adalah tempat berkumpulnya anggota keluarga ketika melaksanakan sebagian aktivitas. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah telah mencontohkan dan memberikan tuntunannya bagaimana seharusnya kita memperlakukan dan beraktifitas dalam rumah.

Rasulullah menjadikan rumah sebagai tempat tinggal sebatas kebutuhan, baik untuk menutupi diri dari pandangan orang, menghindarkan diri dari bahaya panas, dingin, hujan dan angin serta menjaga apa yang hidup di dalamnya seperti binatang peliharaan dan lainnya. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa rumah beliau sangat sederhana namun nyaman, baik dan harum karena keringat atau bau beliau sendiri.

Berkaitan dengan rumah, islam telah memberikan beberapa tuntunan dan adap-adabnya.

1. Ketahuilah bahwa Rasulullah SAW berada dalam tuntunan yang paling sempurna, jalan beliau adalah jalan yang paling terbaik, pada saat beliau menyadari bahwa dunia adalah tempat untuk berjalan bukan tempat menetap, maka beliau menjadikannya tempat tinggal sebatas kebutuhan, baik untuk menutupi diri dari pandangan orang, menghindarkan diri dari bahaya panas, dingin, hujan dan angin serta menjaga apa yang hidup padanya dari binatang piaraan dan yang lainnya, beliau tidak menghiasi dan membangunnya, rumah beliau bukanlah rumah yang megah sehingga orang lain takut jika dia hancur dan tidak pula menjulang tinggi sehingga menjadi tempat bagi sarang binatang, menjadi sasaran hembusan angin kencang, dan bukanlah ia rumah bawah tanah sehingga menyerupai rumah para diktator-diktator terdahulu* bahkan mungkin mengganggu orang yang tinggal padanya karena minim dan kosongnya oksigen, sinar matahari dan diselimuti kegelapan atau menjadi hunian mahluk-makhluk, rumah Nabi Muhammad SAW adalah rumah sederhana yang baik, harum karena keringat atau bau beliau sendiri.[1]



2. Umar RA berkata di atas mimbar: Wahai sekalian manusia perbaikilah tempat tinggalmu, dan jauhilah binatang yang selalu bersembunyi ini (ular) sebelum dia menjadikan kamu takut…)

3. Sesungguhnya Allah SWT menjadikan bagi rumah-rumah tersebut kehormatan, firman Allah SWT:

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ ِللنَّاسِ وَاْلحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرَّ بِأَنْ تَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلكِنَّ اْلبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Waktu bagi manusia dan (bagi ibadat hajji); Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.[2]

4. Saat keluar dari rumah dianjurkan membaca:

بِسْمِ اللهِ تَـوَكَّلْتُ عَلىَ اللهِ وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُـوَةَ إِلاَّ بِاللهِ

“Dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah dan tiada daya dan upaya kecuali seizin Allah”.[3]

5. Saat memasuki rumah mengucapkan:

بِسْمِ اللهِ وَلَجْنَا بِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا وَعَلىَ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا

“Dengan menyebut nama Allah kami memasuki rumah, dengan menyebut nama Allah kami keluar dan kepada Allah kami berserah diri”. Kemudian mengucapkan salam kepada keluarganya.[4]

6. Tidak bermegah-megah dalam membangun rumah, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ

“Hari kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun”.[5]

7. (Dianjurkan) membangun rumah yang luas, berdasarkan sabda Nabi:

سَعَادَةُ اْلمَرْءِ اْلمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِي

“Kebahagian seseorang pada rumah yang luas, tetangga yang shaleh dan kendaraan yang menyenangkan”.[6]

8. Aktifitas seorang lelaki di rumahnya, Aisyah radhiallahu anha pernah ditanya tentang: Apakah yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW di dalam rumah keluarganya? “Beliau mengerjakan apa yang dikerjakan oleh keluarganya dan jika waktu shalat telah tiba maka beliau keluar (menuju shalat)”.[7] Jawab Aisyah. Beliau juga berkata: “Beliau adalah seorang manusia biasa, mencuci pakaiannya dan memerah susu kambingnya”.[8]

Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ أَنْـفَقَ نَفَقَـةً عَلىَ أَهْلِهِ وَهُـوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

“Barangsiapa yang memberikan nafkah bagi keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka hal itu shadaqah baginya”.[9]

Beliau juga bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغَِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِّرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

“Sesungguhya kalian tidak memberikan nafkah (kepada keluargamu) untuk mengharap pahala dari Allah kecuali engkau pasti diberikan pahala karenanya sampai pada apa yang engkau letakkan pada mulut istrimu”.[10]

9. Mematikan lampu, berdasarkan sabda Nabi muhammad SAW:

أَغْلِقُـوْا اْلأَبْوَابَ وَأَوْكُوْا السِّقَاءَ وَاكْـفِئُوْا اْلإِنَاءَ وَخَمِّرُوْا اْلإِنَاءَ وَأَطْفِـئُوْا الْمِصْبَاحَ إِنَّ الشَّـيْطَانَ لاَ يَفْتَـحُ غَلْقًا وَلاَ يُحِلُّ وِكَاءً وَلاَ يَكْشِفُ إِنَاءً وَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تَضْرِم ُعلَىَ النَّاسِِ بَيْتَهُمْ

“Tutuplah pintu, baringkanlah botol tempat minummu, baliklah bejanamu, padamkanlah lampu, sesungguhnya setan tidak membuka yang tertutup, tidak menempati tempat minum (yang dibaringkan) dan tidak pula membuka bejana (yang dibalik) sesungguhnya bintang kecil yang nakal (tikus) bisa menybebkan kebakaran pada rumah seseorang”.[11]

10. Tidak membiarkan api menyala di dalam rumah pada waktu akan tidur, suatu malam sebuah rumah penduduk kota Madinah terbakar, lalu Nabi menceritakan tentang kejadian tersebut, maka beliau mengingatkan:

إِنَّ هذِهِ النَّارَ عَدُوٌّ لَكُمْ فَإِنْ نِمْتُمْ فَأَطْفِئُوْهَا عَنْكُمْ

“Sesungguhnya api ini adalah musuh bagimu, maka jika kalian tidur padamkanlah api tersebut dari rumahmu”.[12]

11. Dianjurkan menggantungkan cemeti di rumah, sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk menggantungkan cemeti di rumah.

12. Menutup pintu pada malam hari tiba, sebab Nabi SAW bersabda:

كُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ عِنْدَ فَحْمَةِ اْلعِشَاءِ وَإِيَّاكُمْ وَالسَّمْرَ بَعْدَ هِدْأَةِ الرِّجْلِ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ مَا يَبُثُّ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ ؟ فَأَغْلِقُوْا اْلأَبْوَابَ وَأَطْفِئُوْا اْلمِصْبَاحَ وَأَكْفِـئُوْا اْلإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ

“Tahanlah anak-anakmu berkeliaran pada saat kegelapan waktu isya’ dan berjaga-jaga setelah tenangnya gerakan kaki, sesungguhnya kalian tidak mengetahui apa yang dimunculkan oleh Allah dari mahluk ciptaan -Nya, maka tutuplah pintu-pintu, matikanlah lampu-lampu, baliklah bejana-bejanamu dan baringkanlah botol-botol minummu”.[13]

13. Menahan anak-anak kecil pada waktu isya’, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:

كُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ حَتَّى تَذْهَبَ فَحْمَةُ أَوْ فَوْرَةُ الْعِشَاءِ سَاعَةً تَهُبُّ الشَّيَاطِيْنُ

“Tahanlah anak-anakmu sampai berlalunya malam atau menghilangnya waktu isya’; pada saat setan-setan sedang bergentayangan”.[14]

14. Imam Bukhari rahimhullah menulis: Babut Tabarruz fil Buyut (Bab membuang hajat di dalam rumah). Ibnu Hajar rahimhullah berkata: Pengarang menulis bab ini untuk memberikan penjelasan bahwa keluarnya wanita untuk membuang hajat di luar rumah tidak berlangsung secara terus menerus, akan tetapi pada masa selanjutnya dibangunlah WC di dalam rumah, akhirnya tidak dibutuhkan kembali keluar rumah untuk membuang hajat.


Majid bin Su'ud al-‘Ausyan
[1] Al-Adabu Syar’iyah 3/411.

[2] QS.Al-Baqarah: 189.

[3] HR. Abu Dawud no: 4349, Al-Turmudzi no: 3666.

[4] HR. Abu Dawud no: 1091.

[5] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab shahihul adab no: 350.

[6] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 355.

5 Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 418

6 Dishahihkan oleh Albani dalam kitab As-Silsilatus Shahihah no: 671.

[9] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 576

[10] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab

[11] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 927

[12] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 931

[13] Sanadnya shahih dengan syarat Muslim, dan dishahihkan oleh Albani dalam Al-Silsilatus Shahihah no: 3454.

[14] Dishahihkan leh Albani dalam kitab Shahihul Adab

Sumber : indonesian.iloveallaah.com


Demikian tadi sahabat sedikit mengenai rumah mempunyai adab .Semoga bermanfaat sahabat

Friday, September 23, 2011

Tips Membentengi Anak Terhadap Maksiat

Tips Membentengi Anak Terhadap Maksiat.Alhamdulillah sahabat malam hari ini kita masih diberikan nikmat sehat sehingga kita masih bisa beraktifitas dalam dunia maya ini dan semoga saja aktifitas kita diniatkan untuk saling bersilaturahmi dan juga berbagi ilmu yang bermanfaat sahabat.

Meneruskan kemarin setelah memposting mengenai salah satu sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yaitu Abu Bakar As-Siddiq maka malam hari ini Muhasabah akan berbagi mengenai Tips Membentengi Anak Terhadap Maksiat.Artikel ini lebih ditujukan kepada Abu Ummu - Ayah Bunda - Bapak Ibu atau pun calon pengantin dan juga untuk sahabat semua.Selamat menyimak dan semoga bermanfaat


Sebagai Ayah atau pun Bunda tentu kita tidak menginginkan anak-anak kita, buah cinta kita dengan isteri menjadi salah satu korban daripada begitu maraknya kemaksiatan sekarang ini.Maka hendaknya kita sebagai orang tua yang diamanahi Allah Subhanahu Wa Ta'ala berupa anak-anak untuk mendidik dan membesarkannya menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.Untuk menjadi penerus dan generasi pejuang Islam di Bumi Allah ini, maka sebagai orang tua kita harus bisa menghindarkan atau pun mencegah anak kita dari perbuatan-perbuatan maksiat.

Sebenarnya banyak tips membentengi anak terhadap maksiat yang bisa dilakukan kita sebagai orang tua.Di antaranya, dengan menghindarkan anak dari sebab-sebab menularnya kemaksiatan itu. Seperti tidak membebaskan pergaulan anak begitu saja, terus berusaha mengawasi pergaulan anak, memilihkan teman-teman yang shalih, memilihkan lingkungan rumah dan masyarakat yang baik, dan usaha-usaha lain yang bersifat preventif.

Selain itu, usaha pencegahan yang paling utama adalah berupa pendidikan keagamaan yang memadai. Karena sesungguhnya faktor utama yang mampu mencegah seseorang berbuat maksiat adalah agamanya. Semakin kuat agama seseorang, niscaya dia akan semakin jauh dari perbuatan maksiat. Seandainya pun dia berbuat maksiat, maka dengan agamanya dia akan berusaha untuk segera bertaubat sehingga setelahnya dia menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dan agama kita ini, telah menjadikan tauhid sebagai pondasi utamanya. Tidaklah seorang pun Rasul diutus, kecuali dia pasti menyerukan tauhid. Bahkan tauhid menjadi seruannya yang paling utama dan pertama. Tidak lain karena tauhid inilah yang akan menentukan kebaikan dan keburukan seorang hamba. Semakin sempurna tauhid semakin baiklah dia.

Oleh sebab itulah Ayah dan Bunda, yang dirahmati Allah, karena agama adalah faktor terbesar yang membentengi seseorang dari maksiat, sedangkan agama ini dilandasi oleh tauhid, maka pengajaran tauhid kepada anak-anak dalam usaha menjauhkan mereka dari maksiat adalah salah satu usaha yang tidak boleh kita sepelekan. Dan kita harus mengajarkan tauhid ini sesempurna mungkin.

Demikian tadi sahabat sedikit mengenai Tips Membentengi Anak Terhadap Maksiat.Semoga bermanfaat.

Sunday, July 31, 2011

Puasa Ramadhan adalah WAJIB

Syaikh Shalih Bin Fauzan Al Fauzan
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin

Barangsiapa Berbuat kebajikan dengan Kerelaan Hati, Lebih Baik Baginya

Allah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa Ramadhan, karena puasa memutuskan jiwa dari syahwatnya dan menghalangi dari apa yang biasa dilakukan. Puasa Ramadhan termasuk perkara yang paling sulit, karena itu kewajibannya pun diundur sampai tahun kedua hijriyah, setelah hati kaum muslimin kokoh dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar-syiar Allah, maka Allah membimbing mereka untuk melakukan puasa dengan bertahap.

Pada awalnya mereka diberi pilihan untuk berbuka atau puasa, serta diberi semangat untuk puasa, karena puasa masih terasa berat bagi para shahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Barangsiapa yang ingin berbuka kemudian membayar fidyah diperbolehkan.


Allah Subahanu Wata’ala berfirman (yang artinya):

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(Al Baqoroh 184).

Barangsiapa yang Mendapatkan Bulan Ramadhan, Hendaknya Berpuasa

Kemudian turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menghapuskan hukum di atas. Hal ini dikabarkan oleh dua shahabat yang mulia, Abdullah bin Umar dan Salamah bin Akwa Radhiyallahu ‘Anhuma. Keduanya berkata, "kemudian dihapus oleh ayat (yang artinya):

"(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk-petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu barangsiapa diantara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, supaya kamu bersyukur."
(Al Baqoroh 185) "

(Hadits dari Ibnu Umar, dikeluarkan oleh Bukhari (4/188) dan Hadist dari Salamah dikeluarkan oleh Bukhari (8/181) dan Muslim(1145))

Dan dari Ibnu Abi Laila, ia berkata, "Sahabat Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyampaikan kepada kami (yang artinya):

"Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan terasa memberatkan mereka (para shahabat), maka barang siapa tidak mampu diperbolehkan meninggalkan puasa dan memberi makan seorang miskin sebagai keringanan bagi mereka. Kemudian hukum ini dihapus oleh ayat "Berpuasa itu lebih baik bagi kalian", akhirnya mereka disuruh berpuasa."."

(Juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Al Mustakhraj sebagaimana dalam Taghliqut Ta’liq(3/185) dari jalan yang ketiga dengan sanad yang hasan juga)

Sejak itu jadilah puasa sebagai salah satu tiang dari tiang-tiang agama dan menjadi salah satu rukun agama berdasarkan sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya):

"Islam dibangun atas 5 perkara: Syahadat an la ilahailallah wa anna Muhammad rasulullah, menegakkan Shalat, menunaikan Zakat naik haji ke Baitul Haram, serta puasa Ramadhan."
(Diriwatkan oleh Bukhari (1/47) dan Muslim (16) dari Ibnu Umar)

Dinukil dari kitab "Shifat Shoum an Nabiy Sholallahu ‘Alaihi Wassalam fi Ramadhan"
Judul Indonesia "Sifat Puasa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wassalam"
Penerbit Al Mubarok

Tuesday, March 15, 2011

Adab Bermasyarakat

بسم الله الرحمن الرحم

Manusia adalah makhluk sosial, satu dengan lainnya saling bergantung dan membutuhkan. Seseorang akan merasa tentram bila hidup bersama makhluk sejenisnya dan akan merasa kesepian manakala hidup sendirian.
Jika demikian keadaannya maka mau tidak mau seseorang harus memiliki perangai yang dengannya akan terwujud keberlangsungan hidup yang baik di tengah-tengah

Adab-adab Mencari Ilmu

بسم الله الرحمن الرحم

Penulis: Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed
Adab mencari ilmu mutlak diperlukan, bahkan para Salafush Shalih mendidik anak-anaknya dengan adab sebelum membawanya ke majelis ilmu.
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-: “Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”. (

Wednesday, March 2, 2011

Etika Hidup Bertetangga

بسم الله الرحمن الرحمOleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz

1. Menghormati tetangga dan berprilaku baik terhadap mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, “....Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan, “Hendaklah ia