Monday, January 24, 2011

TIADA KESEMPURNAAN TANPA IKHLAS


TANAMKAN WUJUD KAMU DALAM BUMI YANG TERSEMBUNYI, KARENA  YANG TUMBUH DARI SESUATU YANG TIDAK DITANAM ITU TIDAK SEMPURNA HASILNYA.

Hikmah yang lalu mengarahkan pandangan kita kepada ikhlas. Ikhlas menjadi kekuatan yang menghalau syirik. Jalan syirik adalah kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu diri sendiri  harus diperhatikan untuk menjauhkan perbuatan syirik. Bila kepentingan diri sendiri bisa ditundukkan barulah muncul keikhlasan.

Dan juga pada diri kamu sendiri. Maka mengapa kamu tidak mau melihat serta memikirkan (dalil-dalil dan bukti itu)? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat )

Hikmah 11 mengajak kita menyelami persoalan yang lebih halus yaitu hakikat diri kita sendiri atau kewujudan kita. Kita dijadikan dari tanah, maka akan kembali kepada tanah, yaitu  jasad harus dilayani sebagai tanah supaya ia tidak mengenakan tipu dayanya. Apabila kita sudah dapat menyekat pengaruh jasad maka kita hadapi pula roh kita. Roh datangnya daripada Allah s.w.t, kerana roh adalah urusan Allah s.w.t, maka kembalikan ia kepada Allah s.w.t. Apabila seorang hamba itu sudah tidak terikat lagi dengan jasad dan roh, maka jadilah dia bekas yang sesuai untuk diisi dengan Allah s.w.t. 

Pada awal perjalanan, seorang pengembara kerohanian membawa sifat-sifat basyariah serta kesadaran terhadap dirinya dan alam nyata. Dia dikawal oleh kehendak, pemikiran, cita-cita, angan-angan dan lain-lain. Anasir-anasir alam seperti galian, tumbuh-tumbuhan dan hewan turut mempengaruhinya. Latihan kerohanian menghancurkan sifat-sifat yang keji dan memutuskan rantaian pengaruh anasir-anasir alam.


Jika diperhatikan Kalam-kalam Hikmah yang lalu dapat dilihat bahwa hijab nafsu dan akal yang membungkus hati membuat kebenaran tidak kelihatan. Akal yang ditutupi oleh kegelapan nafsu, yaitu akal yang tidak menerima pancaran nur, tunduk kepada perintah nafsu. Nafsu tidak pernah kenyang dan akal sentiasa ada jawaban dan alasan. Hujjah akal menjadi benteng yang kokoh buat nafsu tersembunyi. Jangan memandang enteng kepada kekuatan nafsu dalam menguasai akal dan pancaindera. Al-Quran telah memberi peringatan mengenainya:

Nampakkah (wahai Muhammad) keburukan keadaan orang yang menjadikan hawa nafsunya: tuhan yang dipuja lagi ditaati? Maka dapatkah engkau menjadi pengawas yang menjaganya agar jangan sesat? Atau adakah engkau menyangka bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memahami (apa yang engkau sampaikan kepada mereka)? Mereka hanyalah seperti binatang ternak, bahkan (bawaan) mereka lebih sesat lagi. ( Ayat 43 & 44 : Surah al-Furqaan )

Dan kalau Kami kehendaki niscaya Kami tinggikan pangkatnya dengan (sebab mengamalkan) ayat-ayat itu. Tetapi ia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya; maka bandingannya adalah seperti anjing, jika engkau menghalaunya: ia menghulurkan  lidahnya , dan jika engkau membiarkannya: ia juga menghulurkan lidahnya. Demikianlah perbandingan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlan kisah-kisah itu supaya mereka mau berfikir. ( Ayat 176 : Surah al-A’raaf )

Manusia yang menerima ayat-ayat Allah s.w.t yang seharusnya menjadi mulia telah bertukar menjadi hina karena mereka mengikuti hawa nafsunya. Ayat-ayat Allah s.w.t yang diketahuinya memancarkan cahaya pada hati dan akalnya tetapi kegelapan nafsu membungkus cahaya itu. Di dalam kegelapan nafsu, akal mengadakan hujah kepada yang mendustakan ayat-ayat Allah s.w.t yang dia sendiri mengetahuinya. Allah s.w.t mengadakan perbandingan yang hina bagi orang yang seperti ini. Mereka adalah umpama anjing, yang tidak bisa berfikir. Buruk sekali orang tersebut dari pandangan Allah s.w.t terhadap orang yang mempertuhankan nafsunya. Nafsu yang besar adalah umpama anjing yang sentiasa menjulurkan lidahnya, tidak memperdulikan walaupun dihalau berkali-kali.

Allah s.w.t mewahyukan ayat-ayat yang menceritakan tentang kehinaan manusia yang menerima ayat-ayat-Nya tetapi masih juga memperturutkan hawa nafsu, supaya cerita yang demikian bisa memberi kesadaran kepada mereka. Jika mereka kembali sadar, mereka akan keluar daripada kegelapan nafsu. Menjalani ayat-ayat Allah s.w.t yang sudah mereka ketahui  dan akan mendapati jalan yang benar.

Ayat-ayat yang diturunkan Allah s.w.t memberi pengertian kepada Rasulullah s.a.w bahwa cendikiawan Arab yang menentang baginda s.a.w berbuat demikian bukan karena tidak dapat melihat kebenaran yang baginda s.a.w bawa, tetapi mereka dikuasai oleh hawa nafsu. Cahaya kebenaran yang menyala dilubuk hati ditutupi oleh kegelapan nafsu. Orang yang telah menerima cahaya kebenaran tetapi mendustakannya itulah yang diberi perumpamaan yang hina oleh Allah s.w.t.

Menurut cerita daripada Ibnu Abbas, pada zaman Nabi Musa a.s ada seorang alim bernama Bal’am bin Ba’ura. Allah s.w.t telah mengurniakan kepada Bal’am rahasia khasiat-khasiat nama-nama Allah Yang Maha Besar. Nabi Musa a.s dan kaum Bani Israil, setelah selamat daripada Firaun, sampai tiba dinegeri tempat tinggal Bal’am. Raja negeri tersebut ketakutan, takut kalau-kalau negerinya diserang oleh kaum yang telah berjaya menewaskan Firaun. Setelah bermusyawarah dengan penasihat-penasihatnya  Raja tersebut memutuskan untuk meminta pertolongan Bal’am agar Bal’am menggunakan ilmunya untuk mengalahkan Nabi Musa a.s. Bal’am yang pada mulanya enggan berbuat demikian tetapi akhirnya setuju juga setelah isteri tercintanya menerima sogokan daripada Raja. Bal’am dengan kekuatan ilmunya dan kemujaraban doanya telah mengenai sekatan kepada Nabi Musa a.s. Menurut cerita, doa dan perbuatan Bal’am dimakbulkan Allah s.w.t dan ia menjadi sebab kaum Nabi Musa terperangkap di Padang Teh beberapa tahun lamanya. Apabila Nabi Musa a.s mendoakan agar kaumnya dilepaskan daripada sekatan tersebut, Allah s.w.t memakbulkan doa tersebut dan pada masa yang sama laknat turun kepada Bal’am.

Sebagian orang menganggap cerita di atas sebagai cerita Israiliat. Rasulullah s.a.w menentukan dasar bahwa cerita ahlul kitab tidak dibenarkan dan tidak didustakan. Cerita tersebut dibawa sekedar menunjukkan sejauh mana kekuatan nafsu menutup pandangan hati sehingga Bal’am sanggup menentang Nabi Musa a.s walaupun dia mengetahui kebenarannya, sebagaimana cendikiawan Arab menentang Rasulullah s.a.w sekalipun hati kecil mereka menerima kebenaran baginda s.a.w. 

Menundukkan nafsu bukanlah pekerjaan yang mudah. Seseorang harus kembali kepada hatinya, bukan akalnya. Hati tidak akan berbohong dengan diri sendiri sekalipun akal menutupi kebenaran atas perintah nafsu. Kekuatan hati adalah ikhlas. Maksud ikhlas yang sebenarnya adalah:


Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku dan ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan yang memelihara dan menyeru  sekalian alam”. ( Ayat 162 : Surah al-An’aam )

Dalam ikhlas tidak ada kepentingan diri. Semuanya karena Allah s.w.t. Selagi kepentingan diri tidak ditanam dalam bumi selama itu ikhlas tidak tumbuh dengan baik. Ia menjadi sempurna apabila wujud diri itu sendiri ditanamkan. Bumi tempat menanamnya adalah bumi yang tersembunyi, jauh daripada perhatian manusia lain. Ia adalah umpama kubur yang tidak bertanda ( gelap-gulita ).

No comments:

Post a Comment