Friday, March 4, 2011

HIKMAH DI BALIK PENCIPTAAN SYAITAN

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnXzzg5F24BchLf3ZKfZo86JHhmtncxe08_vvZlmaRdz3gtrgYqiswoAdqZcRzkd2z-VsYzD7glGYu6UgY9Zz0PwhVQljs1JbYGxn83xMiL-vCrynmIRuiYZGCFpq-AYiPTSFLLxkygXar/s400/Picturespa1.jpg
Ketika Allah akan menciptakan khalifah di bumi (yaitu manusia), maka para malaikat protes kepada Allah. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 disebutkan:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 30)

Khalifah artinya adalah “pengganti dari yang tidak ada”. Oleh karena itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq disebut sebagai “Khalifah Rasul”, karena menggantikan posisi Rasulullah SAW setelah Rasulullah wafat. Umar bin Khattab juga disebut sebagai “khalifah”, karena menggantikan posisi Abu Bakar Ash-Shiddiq. Karena itu, jangan sekali-kali kita menyebut “Khalifah Allah”. Al-Qur’an ataupun Hadits tak pernah menyebutkan “Khalifah Allah”. Khalifah Allah berarti pengganti Allah. Kalau begitu Allah ke mana kalau digantikan. Al-Qur’an hanya menyebutkan: “Aku (Tuhan) akan membuat pengganti di bumi”.
Menurut para ahli tafsir, berdasarkan riwayat dari Abdullah ibnu Abbas, memang sebelum diciptakannya makhluk yang bernama manusia, bahwa dunia pernah didiami oleh makhluk yang bernama “Banul Jan”. Makhluk itu berbuat kerusakan, yang kemudian Allah akan menciptakan penggantinya lagi.
Dari persepsi pemahaman malaikat sepeti disebutkan pada ayat di atas, malaikat sepertinya “protes”. Malaikat mengatakan, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Allah kemudian mengatakan, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita “bertanya” kepada Allah. Mengapa kita sudah taat, tapi masih diberi musibah dan bencana?
Jadi, apa sebenarnya hikmah di balik Allah menciptakan syaitan?”
Ada 3 (tiga) kategori makhluk. Yang pertama disebut “malaikat”, yang kedua disebut “manusia”, dan yang ketiga disebut “Jin”. Ketiga-tiganya ini memiliki karakter yang berbeda.
Malaikat diciptakan oleh Allah hanya memiliki sifat untuk selalu taat kepada Allah. Allah menerangkan karakter malaikat ini, bahwa malaikat tidak pernah durhaka kepada Allah dan selalu mengerjalan apa yang diperintahkan.
Manusia ada yang taat kepada Allah, dan juga ada yang tidak taat kepada Allah. Yang taat disebut mu’min, yang tidak taat disebut kafir.
Jin memiliki watak seperti manusia, yaitu ada yang taat dan juga ada yang tidak taat.
Pertanyaannya, di mana syaitan?
Secara bahasa, “syaitan” berarti adalah sesuatu yang tidak mau mengikuti aturan. Dalam istilah, “syaitan” adalah makhluk Allah yang tidak mau taat terhadap perintah-perintah Allah, baik dia itu berupa jin, maupun berupa manusia.
Malak” (jama’nya malaikat) berarti memiliki watak yang taat. “Jin” artinya tutup, karena tidak terlihat. “Manusia” atau “Insan” terambil dari kata “nisiyan”, yang artinya lupa.
Al-Qur’an menegaskan:
Wa kazalika ja’alna liqulli nabiyyin ‘aduwwan syayaatiinal insi wal jin.
“Dan demikianlah setiap Nabi kami ciptakan musuh-musuh berupa syaitan yang terdiri dari manusia dan jin.”
Jadi semakin jelaslah, bahwa syaitan itu dapat berupa manusia, dan dapat juga berupa jin. Sedangkan “iblis” yang kita kenal selama ini, artinya sama dengan arti “syaitan”, yaitu makhluk yang tidak taat kepada Allah. Iblis bukan nama, melainkan sebutan untuk sifat seorang jin yang tidak taat terhadap perintah Allah. Nama sebenarnya dari iblis tersebut adalah “Haris”. Iblis itu sifatnya, nama dirinya adalah “Haris” yang berarti “penjaga”. Mengapa disebut “Haris”? Konon karena mendapat tugas untuk menjaga surga. Ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam, maka semua malaikat kemudian sujud. Jin yang bernama “Haris” yang kemudian dikenal sebagai “Iblis” kemudian tidak mau taat.
Setelah itu, Iblis kemudian terkutuk dan tidak boleh tinggal di surga. Iblis kemudian meminta kepada Allah agar tidak dimatikan sampai waktu kiamat. Permintaan atau doa iblis itu ternyata dikabulkan oleh Allah.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah Iblis adalah makhluk yang percaya kepada Allah? Mungkin dapat dikatakan, bahwa Iblis itu memang percaya kepada Allah. Dan kalau “percaya” itu diterjemahkan dengan kata “mu’min”, maka dapatlah dikatakan bahwa Iblis itu mu’min.
Allah bertanya kepada Iblis, “Mengapa kamu tidak mau sujud kepada Adam ketika kamu Aku perintahkan?”
Iblis pun menjawab, “Saya lebih hebat dari Adam. Engkau menciptakan aku dari api, sedangkan Engkau menciptakan Adam dari tanah.”
Menurut Iblis, bahwa api itu lebih baik dari tanah. Makanya kemudian Iblis mengganggap bahwa ia tidak pantas untu tunduk kepada makhluk yang terbuat dari tanah.
Watak dari api adalah selalu meninggi dan selalu ke atas. Ini menunjukkan bahwa api merupakan watak sombong. Karena itu, watak Iblis adalah sombong. Dari kesombongannya itulah yang kemudian menyebabkan ketidak-taatan.
Berbeda dengan tanah, bahwa di manapun tanah umumnya selalu diposisikan pada bagian yang paling bawah. Jadi, watak tanah itu antara lain adalah merendahkan diri dan tidak arogan. Watak tanah yang kedua, bahwa biarpun dilemparkan kotoran, maka tanah akan selalu memberikan yang terbaik, menghasilkan buah-buahan yang lezat, dan sebagainya. Karena itu, manusia seharusnya mempunyai watak tanah ini.
Seperti disebutkan di atas, bahwa Iblis itu percaya kepada Allah. Tapi, percaya kepada Allah namun tidak taat kepada Allah, maka hal tersebut tidak akan berarti apa-apa. Yang menyelamatkan manusia nantinya adalah percaya dan taat kepada Allah.
Selanjutnya, bahwa doa (permintaan) iblis ternyata dikabulkan oleh Allah. Dalam Al-Qur’an dikisahkan permintaan iblis ini:
Rabbi ‘anzirni ila yaumi yub’atsu.
“Wahai Tuhanku, berilah kami masa tangguh jangan Kamu matikan, sampai manusia nanti dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat!”
Permintaan iblis ini memang dikabulkan, tapi tidak pas seratus persen. iblis meminta kepada Allah agar tidak dimatikan sampai manusia dibangkitkan dari kubur, yang berarti hari kiamat. Padahal, sesudah manusia dibangkitkan dari kubur, maka tidak ada lagi kematian. Yang ada adalah hidup kekal selama-lamanya.
Maka, Allah mengabulkan doa iblis tidak persis iblis diberi umur panjang sampai pada hari manusia dibangkitkan, tapi hanya sampai pada waktu yang ditentukan. Jadi, iblis diberi “kelebihan” untuk tidak mati, yang kelebihan inilah kemudian digunakan iblis untuk merayu dan menggoda manusia. Pengalaman iblis dalam menggoda manusia sejak zaman Nabi Adam hingga hari yang ditentukan tersebut sungguh luar biasa. Jangankan orang biasa, Nabi saja bisa tergoda.
Kalau begitu, apa hikmahnya Allah menciptakan iblis (syaitan) ini? Karena ternyata, syaitan ini di dunia membuat kemungkaran dan kemaksiatan. Menurut manusia, alangkah lebih baiknya misalkan jika syaitan itu tidak diciptakan, sehingga dunia ini akan baik semuanya. Seandainya tidak ada iblis, mungkin kejahatan tidak akan pernah ada di dunia ini.
Hikmah penciptaan syaitan antara lain:
Pertama, bahwa seandainya tidak ada Syaitan, maka tidaklah dapat diketahui manakah manusia yang baik dengan yang tidak baik. Karena tanpa adanya syaitan, maka tidak ada kriteria antara baik dengan tidak baik.
Lebih bagus mana antara malaikat dengan manusia? Ada pendapat yang mengatakan, bahwa manusia lebih bagus daripada malaikat. Karena manusia ketika taat kepada Allah, maka ketaatannya itu terjadi setelah ia melawan syaitan. Ketika manusia taat, hal ini dilalui setelah manusia berhasil melumpuhkan syaitan. Sedangkan malaikat ketika taat kepada Allah, tidak berperang melawan syaitan. Ketaatan malaikat karena wataknya memang taat. Karena itu di kalangan malaikat, mungkin tidak ada istilah malaikat yang baik dengan yang tidak baik.
Manusia mempunyai karakter untuk tidak puas dengan pemberian yang ada. Manusia memiliki kreatifitas untuk berusaha. Ketika usahanya itu berhasil dan mendapatkan hasil yang maksimal, maka di situlah manusia merasa puas. Karena itu, manusia tak ingin seperti orang yang berada di dalam penjara, yang selalu terkekang kebebasannya.
Kedua, seandainya Allah tidak menciptakan syaitan dan kemudian Allah akan memasukkan manusia ke dalam surga, maka kriteria apa yang digunakan oleh Allah untuk menentukan bahwa yang ini mendapat tingkatan surga yang tinggi, sedangkan yang lainnya mendapatkan tingkatan surga yang rendah. Tentunya kriteria tersebut tidak ada, yang akhirnya semuanya mendapat tingkatan surga yang sama. Padahal amal yang dilakukan manusia berbeda-beda. Ada yang amal ibadahnya tinggi, dan ada juga yang amal ibadahnya rendah. Lantas di mana keadilan Tuhan jika manusia dengan amal ibadah yang berbeda-beda, tapi dimasukkan ke dalam tingkatan surga yang sama? Inilah hikmah diciptakannya syaitan, maka manusia kemudian bervariasi dalam menjalankan amal ibadahnya. Di sinilah letak keadilan Tuhan.
Bahwa dalam mewujudkan keadilan Tuhan terhadap manusia, tanpa adanya syaitan, maka manusia tidak akan mendapatkan godaan. Apabila Tuhan kemudian memberikan surga kepada manusia dan surga itu sama, maka di sinilah tidak ada keadilan Tuhan, sedangkan amal ibadah masing-masing manusia berbeda-beda.
Ketiga, bahwa manusia memiliki ketidak-puasan hanya untuk menerima. Ketidak-puasan itu diwujudkan dalam bentuk tinggi rendahnya amal dan ketaatan manusia setelah manusia melakukan perlawanan terhadap syaitan.

No comments:

Post a Comment